"Singo
Edan" Mencari Keadilan!
”Singo
Edan ojok digarai! Nek digarai, ngerti dhewe akibate!” Jangan bikin gara-gara
dengan Singo Edan, jika bikin gara-gara, tahu sendiri akibatnya! Begitulah
ungkapan kekesalan sekaligus kepedihan Indra Azwan (53), pria asal Blimbing,
Malang, Jawa Timur.
Ia
nekat berjalan kaki dari Malang ke Jakarta untuk menuntut keadilan bagi anaknya
dan mengembalikan uang Rp 25 juta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Indra
yang lekat dengan atribut ”Singo Edan”—julukan bagi klub sepak bola
Arema—telanjur digarai dengan tidak tuntasnya kasus hukum tabrak lari yang
menimpa anaknya, Rifki Andika (12), oleh Joko Sumantri, seorang polisi, tahun
1993. Saat itu Joko berpangkat letnan satu, atau kini inspektur satu. Saat ini
Joko berpangkat komisaris.
”Hati
saya hancur. Saya enggak bisa membayangkan betapa sakitnya anak saya
diperlakukan seperti itu. Setelah ditabrak, kok, ditinggal begitu saja,”
ujarnya setengah memekik.
Rifki
ditabrak saat akan menyeberang pulang seusai belajar kelompok di Jalan S
Parman, Malang.
Indra,
yang kehilangan anak sulungnya ini, Sabtu (10/3/2012), beristirahat di Cirebon,
Jawa Barat, setelah 22 hari berjalan kaki. Ia berangkat dari Malang, 18
Februari 2012. Ketika dihubungi kembali, Senin sore, ia sudah sampai di
Pamanukan, Subang, Jawa Barat.
Di
dalam mushala sebuah SPBU di Jalan Brigjen Darsono, Cirebon, Indra membersihkan
lecet di kakinya dengan mengusapi alkohol dan mengganti plester. Ketika plester
itu dibuka, tampaklah lubang-lubang merah berair di telapak kakinya. Kuku jari
kelingking yang sebelah kiri bahkan hampir copot. ”Semestinya saya memakai
sepatu ukuran 40, tetapi rusak di tengah jalan. Ini saya pakai sepatu cadangan
ukuran 39, agak kekecilan,” ujarnya.
Untuk
perjalanan Malang-Jakarta yang berjarak 887 kilometer, Indra membawa uang Rp
670.000. Istrinya, Betty Bernatiani (44), memaksa Indra agar mau membawa Rp
600.000 dari keuntungan lapak kelontong mereka. Sisanya, Rp 70.000, adalah uang
pribadi Indra. ”Saya enggak khawatir kurang makan. Di jalan nanti banyak sekali
yang memberi makan, minum, bahkan ada yang memberi uang,” ujarnya.
Jika
lelah berjalan dan malam menjelang, Indra selalu mencari SPBU terdekat.
Biasanya ia tidur di mushala atau lantai kosong di teras kantor SPBU. Di mana
saja asal ada ruang untuk berselonjor, Indra memanfaatkannya. Untuk sekadar
menghangatkan badan, ia mengenakan sarung yang dibawanya dari rumah. Ia membawa
tiga celana panjang dan empat kaus bergambar Singo Edan, lambang kebanggaan
Arema (Arek Malang).
Bagi
Indra yang pendaki gunung ini, terpaan angin dan hujan sudah biasa. Ia paling
suka mendaki Semeru. Hampir setiap bulan bapak empat anak ini mendaki gunung
tertinggi di Jawa itu.
Kenekatan
berjalan kaki Malang-Jakarta pun sudah diperhitungkan matang sesuai kondisi
tubuhnya. Ini adalah perjalanan yang ketiga. Pada perjalanan pertama, yakni
Juli-Agustus 2010, Indra ditemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hatinya
kala itu girang sekali.
Pada
pertemuan itu hadir juga Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, dan Sekretaris Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum Denny Indrayana. ”Dalam sidang kabinet waktu itu, Presiden menugasi
mereka dan Kapolri agar kasus Indra dituntaskan,” katanya.
Selama
19 tahun, Indra tersiksa karena menyaksikan penabrak anaknya melenggang bebas
dari jerat hukum. Dalam putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya bernomor
PUT/05-K/PMT.III/POL/II/ 2008, Joko dibebaskan dari segala tuntutan karena kasusnya
dianggap kedaluwarsa, yakni melewati waktu 12 tahun sejak kecelakaan tahun 1993
hingga dibukanya sidang tahun 2008.
Padahal,
pada putusan yang sama, majelis hakim yang dipimpin Kolonel Laut AR Tampubolon
membenarkan terdakwa (Joko) secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak
pidana ”yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”.
Selama
rentang 1993-2008, Indra berkali-kali bertanya kepada polisi ataupun Detasemen
Polisi Militer Malang mengenai kelanjutan kasus Rifki. Namun, ia dianggap angin
lewat.
Pada
pertemuan dengan Presiden, 10 Agustus 2010, Indra kemudian diminta bertemu pegawai
rumah tangga Istana. Indra lalu diberi amplop berisi uang Rp 25 juta. Namun,
kasus anaknya masih terkatung-katung juga.
Pada
27 September 2011, ia jalan kaki lagi ke Jakarta. Namun, saat sampai di Nagreg,
Jawa Barat, Oktober 2011, ia tak bisa melanjutkan. ”Saya sakit perut karena
keracunan susu cokelat setelah makan di warung,” ujarnya.
Sekarang,
kepergiannya ke Jakarta sekali lagi untuk menuntut keadilan, dan mengembalikan
uang Rp 25 juta kepada Presiden. Indra akan menagih janji Presiden untuk menuntaskan
kasus anaknya. ”Bukan amplop ini yang saya cari. Saya menginginkan keadilan
untuk kasus anak saya.”
Bagi
Indra, perjuangan ini tak semata-mata untuk kepentingan pribadinya. ”Ada ribuan
orang yang mungkin nasibnya seperti saya. Dengan aksi ini saya mengimbau
indra-indra yang lain muncullah. Jangan takut!”
Aksi
seperti dilakukan Indra, menurut pendiri Forum Diskusi Hukum Bandung Memet
Ahmad Hakim, adalah ekspresi kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat yang
kian memuncak terhadap proses hukum yang diselenggarakan negara.
Ekspresi
berbeda dilakukan warga Lampung yang menuntut keadilan dengan menjahit mulut.
Terlepas
dari suasana hukum di Tanah Air yang gonjang-ganjing, Indra hanyalah seorang
bapak yang berharap masih ada kepedulian di hati para pemimpin negeri ini.
ANALISA
Keadilan Legal
atau Keadilan Moral
Keadilan
pada cerita diatas adalah perbedaan penanganan proses hukum yang berlaku di
Indonesia. Indra Azwan (53), pria asal Blimbing, Malang, Jawa Timur atau yang
biasa dipanggil Singo Edan mencari keadilan atas kematian anak sulungnya, setelah
ditabrak dan ditinggal oleh Joko Sumantri yang saat itu berpangkat letnan atau
inspektur satu tanpa pertolongan.
Keadilan
Distributif
Proses
penanganan hukum yang lambat dan perlakuan yang berbeda membuat kasus ini belum
terselesaikan, maka dengan itu aparat penegak hukum harus adil dalam melakukan
tugas dalam menuntaskan keadilan.
Kejujuran
Para
penegak hukum harus mempunyai sifat yang jujur. Karena penegak hukum harus
berlaku adil terhadap siapapun yang bersalah atau melanggar hukum yang berlaku
di Negara Indonesia.
Kecurangan
Kecurangan
yang terjadi di Indonesia adalah tidak adanya keadilan dalam proses hukum yang
terjadi di Negara kita, banyak para pejabat yang melakukan pelanggaran hukum
namun tidak mendapatkan sanksi sesuai dengan sanksi yang seharusnya. Seharusnya
hal ini tidak boleh terjadi agar masyarakat dapat percaya kepada penegak hukum.
Pembalasan
Pembalasan
bagi orang-orang yang tidak jujur atau curang, yang suka menutupi atau membela
seseorang yang bersalah akan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber:
TUGAS BAB 7 ILMU
BUDAYA DASAR
Nama : Devi Aprianita Rosadi
NPM : 1A113057
Kelas : 4KA38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar